Manyanggar ini merupakan suatu sarana untuk memohon kepada pencipta
alam semesta, agar kampung atau desa yang mereka tempati terpelihara
dari segala bencana dan marabahaya.
Manyanggar berasal dari kata sanggar atau sangga, yang dalam Bahasa
Sangiang berarti menyangga atau menahan. Maksudnya menyangga
wilayah/daerah dari pengaruh atau perbuatan jahat dan buruk, baik yang
dilakukan manusia maupun roh jahat yang bersifat gaib terhadap
kehidupan manusia.
Maksud atau tujuan dari upacara itu sendiri adalah membuat tata batas
atau perbatasan lingkungan, yang digunakan manusia dengan alam yang
masih lestari, sedangkan makhluk hidup di alam nyata maupun yang gaib
dipindahkan ke tempat lain agar tidak saling mengganggu.
Jika diikuti dari awal hingga akhir, prosesi upacara adat Manyanggar
cukup panjang, hingga memakan waktu tujuh hari atau seminggu.
Tahap-tahap yang dilewati atau rangkaian upacaranya dapat digambarkan
sebagai berikut;
Hari pertama, dua kegiatan yang dilaksanakan yaitu menjemput para
Basir [petugas adat] dan Balian Baampar-ampar --untuk memberitahukan
kepada Penggutin Petak Danum, Pukung Pahewan Antang, Lawang Labehun
Jatta, Luae-lete, Sungei Saka].
Hari kedua, juga dilaksanakan dua upacara yaitu Manenung mencari
tambahan Sahur (leluhur) Kalimantan Tengah, dan Balian Tantulak Lapik
Gawi.
Hari ketiga, melaksanakan upacara Manarung yaitu memberitahukan kepada
para leluhur [Sahur] Kalimantan Tengah, Antang Petahu yang menjaga
kota/desa, dan orang halus (gaib) yang menjaga Batang Danum Simpei
Karuhei, tempat meminta bahan alat Pasah Patahu dan Ancak Rahan
Lamiang.
Hari keempat, kembali melaksanakan dua upacara yakni mendirikan Pasah
Patahu dan Ancak Rahan Lamiang serta Ancak Mihing. Kemudian
dilanjutkan dengan upacara Marawei yaitu mengundang para leluhur
(Sahur) Kalimantan Tengah, Antang Petahu yang menjaga kota/desa, dan
orang halus (gaib) yang menjaga Batang Danum Simpei Karuhei.
Hari kelima melaksanakan Tabuh yaitu memotong hewan kurban, memasak
sesajen, Manggarunya Sahur Parapah dan Antang Patahu, Balian (tarian),
Sangiang Manjung kepala sapi untuk Naga Galang Petak.
Hari keenam, kepala kampung atau pejabat pemerintah setempat akan
penanaman kepala sapi.
Hari ketujuh atau merupakan penutup dari seluruh rangkaian upacara
yaitu Pabuli Sangiang dan membayar Daluh Dasan Basir.
Dengan demikian, upacara Manyanggar berbeda dengan upacara Tiwah. Pada
upacara Tiwah, hanya keluarga yang menyelenggarakan upacara tersebut
yang bertanggungjawab, dan biasanya hanya dilaksanakan sewaktu-waktu
menurut keperluan atau keinginan pihak keluarga.
Tiwah itu sendiri bermaksud membersihkan tulang belulang para leluhur
(nenek moyang) yang sudah meninggal dunia, yaitu tulang belulang para
leluhur dikumpulkan dalam satu tempat kemudian dicuci dengan darah
kerbau dengan harapan bahwa roh para leluhur akan tenang melakukan
perjalanan di alam gaib dan cepat sampai menuju nirwana (surga).
Sementara upacara Manyanggar melibatkan seluruh penduduk kampung atau
warga desa, yang sifatnya memohon agar kampung atau desa mereka
terhindar dari segala bencana dan malapetaka, baik bencana yang
ditimbulkan oleh makhluk halus (gaib) maupun bencana yang disebabkan
oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar